SELASA 7 Juli 2020 publik Ambon gembira. Status Ambon terkait penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) turun. Dari awalnya zona merah atau beresiko tinggi menjadi zona orange atau resiko sedang.
KAMIS, 6 Agustus 2020, publik Ambon dikagetkan dengan pernyataan juru bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19Republik Indonesia, Prof. Drh. Wiku Adisasmito.
Kala itu, Wiku Adisasmito menyebut, ada 13 kabupaten/kota yang turun kelas terkait penyebaran COVID-19. 13 kabupaten/kota itu, tadinya sudah masuk zona orange atau zona dengan resiko sedang COVID-19, kembali ke zona merah atau daerah resiko COVID-19.
Sebelumnya, 13 kabupaten/kota itu berasal dari sana (merah), kemudian menuju ke orange, selanjutnya kembali lagi ke merah.
Pernyataan resmi Satgas kemudian memantik polemik, khususnya di Ambon. Banyak jari telunjuk kemudian terangkat. Nunjuk sana…nunjuk sini, salahkan sini, salahkan sana. Dan ini wajar, sebab ketika ada sebuah keputusan, maka beragam reaksi pasti akan muncul.
Dipastikan pula, atas polemik itu, maka semua benang di Ambon akhirnya berwarna merah dan memanjang, dan semua binatang di Ambon, kemudian bernama kambing dan berwarna hitam serta mahal harganya. Karena benang merah akan ditarik, kamping hitampun akan dicari. Itulah beta.
Lalu ini salah siapa? Jawabannya mudah. Salah kita semua. Itu jawabannya.
Kenapa? Karena kita gagal memainkan peran kita secara aktif dan massif.
Pemerintah tak perlu juga menyalahkan masyarakat, dan masyarakat juga tak perlu menyalahkan pemerintah. Tak salah kalau kita melayangkan pertanyaan ke Pimpinan dan Pansus COVID-19 DPRD Kota Ambon, apa hasil studi tiru mereka ke Tangerang Selatan (Tangsel) 15 Juli 2020 lalu???
Pemerintah menyebut, masyarakat tak hindahkan himbauan dan tak patuh pada protokol kesehatan. Ada benarnya, tapi ada juga salahnya. Pemerintah disebut masyarakat tidak tegas menegakan aturan, ada benarnya, tapi ada juga salahnya. –tak perlu diuraikan-.
Ahhh….mungkin ini pelajaran bagi kita. Ya…kita, bukan beta bukan ale, tapi katong. Memang seragam tak mesti semua sama, namun tak salah juga, jika dalam situasi yang sulit, kita bersama mencari jalan keluar dengan pikiran yang konstruktif. Tak selalu menunjuk jari, tak selalu mencari benang merah, dan tak selalu mencari kambing hitam.
Pemerintah selama ini masih ‘terkesan’ berjalan sendiri. Pelibatan tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda, akademisi dan pengamat rumah kopi, belum secara massif dilakukan, walau secara implisit, mereka sudah ada dalam keanggotaan gugus tugas.
Sosialisasi selama ini masih terkesan dari pemerintah ke masyarakat, belum sampai pada kesan dari masyarakat ke masyarakat, dari tokoh agama ke umat, dari wakil rakyat ke konstutuennya, guru ke murid, dosen ke mahasiswa, pun sosialisasi rumah kopi ke rumah kopi.
Akibatnya, pemerintah tak jarang mengeluarkan energy lebih, hanya untuk mendudukan persoalan, menjernihkan masalah, dan mengklarifikasi dugaan, terkait COVID-19 itu sendiri.
Imun warga Ambon juga sering naik turun oleh pemberitaan-pemberitaan media, status-status di media sosial, sampai berita-berita bohong yang disajikan mulut ke mulut.
Apalagi, kelompok ‘benar’ terkesan diam seribu bahasa, sementara kelompok ‘mau membenarkan’ gentayangan tanpa terbendung. Akibatnya, kebohongan yang diputar terus menerus, akhirnya mendapat pembenaran di masyarakat. Sementara wakil rakyat kita, ‘sibuk’ dengan urusan studi banding atau studi tiru.
Studi tiru yang dilakukan wakil rakyat kita ke Tangerang Selatan (Tangsel) 15 Juli lalu, belum ada hasil yang terlihat. Dari berita media, ternyata saat studi tiru Pansus dan pimpinan DPRD Ambon ke Tangsel, kota itu adem, namun setelah itu, Tangsel berada pada penyebaran COVID-19 yang tinggi.
‘’Lengkap 12 hari tanpa jeda, berturut-turut sejak tanggal 27 Juli 2020, kasus harian positif COVID-19 di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) terus bertambah. Pada Jumat 7 Agustus 2020 kemarin, kembali terjadi penambahan kasus positif COVID-19 di Tangsel sebanyak 9 kasus. Sayangnya, tak seorang pun pasien yang dinyatakan sembuh dari COVID-19 pada hari yang sama’’. Itu penggalan berita salah satu media online Tangsel. Apakah ini buah studi tiru? Akhhh…tak mungkin.
Kita harus berbenah. Orange ke merah, bukan berarti kita gagal. Namun itu adalah jembatan untuk evaluasi menyeluruh. Semua peran harus dimaksimalkan.
Pemerintah-TNI-Polri-Akademisi-Pers-Tokoh Masyarakat-Tokoh Agama-Tokoh Pemuda, Tokoh Adat, Tokoh Rumah Kopi- Organda-IMI-serta stakeholders penting lainnya, mesti dilibatkan. Kalau selama ini sudah dilakukan, maka harus ditingkatkan. Sebab kadang, katong orang Ambon, jika diacuhkan, maka suka baterek dan menjurus mencari-cari masalah.
Eee…ternyata catatan ringan ini akan sudah menjurus berat. Sampe dolo…dankje. (Paulus Joris)
Discussion about this post