JAKARTA(info-ambon.com) – Persoalan konstitusional syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK).Demikian berita yang dirilis Humas MKRI, Rabu dilaman resmi institusi tersebut.
Kali ini, permohonan diajukan oleh sejumlah kepala daerah, yaitu Erman Safar (Wali Kota Bukittinggi Periode 2021-2024), Pandu Kesuma Dewangsa (Wakil Bupati Lampung Selatan Periode 2021-2026), Emil Elestianto Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur Periode 2019-2024), Ahmad Muhdlor (Bupati Sidoarjo Periode 2021-2026), dan Muhammad Albarraa (Wakil Bupati Mojokerto Periode 2021-2026). Sidang Pendahuluan terhadap perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams bersama dengan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul selaku anggota majelis sidang panel.
Pasal 169 huruf q UU Pemilu menyatakan, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.
Munathsir Mustaman selaku kuasa hukum para Pemohon, dalam persidangan menjelaskan kedudukan hukum para Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK. Para Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menjabat sebagai kepala daerah dalam hal ini sebagai Wali Kota, Bupati, Wakil Gubernur, dan Wakil Bupati.
Munathsir menjelaskan, para Pemohon telah kehilangan hak konstitusional untuk maju dalam bursa pencalonan Wakil Presiden yang dijamin dan dilindungi khususnya Pasal 6 ayat (1) UUD 1945.
Sementara para Pemohon memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negera dan terakhir saat ini menjabat sebagai kepala daerah sebagai Wali Kota, Bupati, Wakil Gubernur, dan Wakil Bupati. Oleh karena itu, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan uji Undang-Undang a quo.
“Pengalaman sebagai penyelenggara negara seharusnya menjadi pengecualian persyaratan batas usia minimal calon Wakil Presiden. Sepanjang memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara, walaupun usianya di bawah 40 tahun. Sehingga, sudah sepatutnya dipersamakan dengan usia minimal sebagaimana yang dipersyaratkan,” jelas Munathsir yang hadir secara langsung di Ruang Sidang Panel MK di Jakarta.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon dalam petitum memohon agar MK menyatakan frasa “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun” dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau memiliki pengalaman sebagai Penyelenggara Negara”.
Kerugian Faktual atau Potensial
Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihat majelis sidang menyampaikan beberapa hal terkait permohonan, di antaranya memperbaiki bagian kewenangan, kedudukan hukum, dan posita. Misalnya pada bagian kedudukan hukum para Pemohon ini perlu dipertegas dengan bukti para calon pernah atau akan dicalonkan sebagai wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik.
“Apakah mengalami kerugian faktual atau potensial? Karena belum ada buktinya, jadi narasi ‘akan dicalonkan’ ini bermakna kerugian yang sifatnya potensial. Sebab kalau yang faktual ada norma yang mengatur subjek hukumnya, kerugian konstitusionalnya harus tampak dari berlakunya norma ini,” jelas Arief.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul memberikan catatan mengenai legal standing yang menjadi jalan masuk bagi penyelesaian perkara. Oleh karenanya, perlu diperdalam lagi hubungan kerugian konstitusionalitas norma dengan keberadaan hak-hak para Pemohon yang terlanggar olehnya.
Berikutnya Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mencermati soal kesesuaian petitum dan posita. Pada norma yang diujikan dalam permohonan terkait dengan ketentuan pencalonan presiden dan wakil presiden. Bahkan pada alasannya menyebutkan syarat wakil presiden. Dengan kata lain, sambung Wahiduddin, para Pemohon menghendaki adanya perbedaan usia antara calon presiden dan wakil presiden. “Ini petitum harus dimodifikasi atau dialternatifkan karena usia keduanya ini sama, sedangkan yang dijelaskan atau dimintakan para Pemohon berbeda antara keduanya,” terang Wahiduddin.
Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk memperbaiki permohonan. Naskah yang telah disempurnakan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 13 Juni 2023 pukul 10.00 WIB ke Kepaniteraan MK.(*)