Retorative Justice, Keadilan atau penghapusan Pidana?

Oleh : Dedek Pratama Prasetia Putra, S.H

Dedek Pratama Prasetia Putra, S.H.

PRINSIP dasar keadilan restorative atau restorative justice adalah adanya pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan  memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan. Restorative Justice” atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif (Yanti, 1998:1), merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitik beratkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Restorative justice mempertimbangkan keadilan bagi korban dengan tidak meninggalkan unsur keadilan dan ketidakberpihakan. Elemen- elemen penegak hukum yang terlibat dalam keadilan restorative (restorative justice) diantaranya adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Balai Pemasyarakatan.

Proses restorative Justice pada peradilan anak disebut dengan diversi yang diselenggarakan pada tingkat kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan dengan Balai Pemasyarakatan sebagai wakil fasilitator yang mendampingi tersangka. Adly (2020) menyebutkan bahwa fenomena penerapan diversi menunjukkan lemahnya perlindungan bagi anak sehingga memerlukan penguatan dan peningkatan diberbagai sektor. Diversi sebagai pengalihan perkara pidana menjadi peluang akan keberhasilan perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana sehingga harus dilaksanakan dengan optimal dan sesuai dengan cita-cita dari keadilan restoratif yang menjadi roh atau jiwa dari diversi.

Prinsip keadilan pada proses restorative justice pada saat ini seringkali bias pada penghapusan pidana. Menilik beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, beberapa kasus pidana yang memperoleh restorative justice. Beberapa pakar mengatakan jika resorative justice tidak dapat menghapus unsur pidana dan tulisan ini akan menjelaskan bagaimana retorative justice melalui diversi pada pidana anak maupun restorative justice pada kasus tertentu dapat menyelesaikan beberapa tindak pidana secara musyawarah dan kekeluargaan.

Mengutip pikiran-rakyat.com, kasus pencurian handphone yang dilakukan tersangka MA (16) warga Karang Tengah kelurahan Genuksari kecamatan Genuk Kota Semarang mendapatkan restorative justice dari kepolisian Polsek Candisari. Pelaku yang terekam CCTv terbukti mengambil handphone miliki korban sebagaimana ciri-ciri yang terindikasi adalah MA. Tersangka yang masih dibawah umur merupakan syarat diupayakan adanya restorative justice. Proses diversi pada tingkat kepolisian merupakan diversi tingkat awal dengan menghadirkan korban Alfiyah (39) dan tersangka MA (16) yang di dampingi pihak keluarga tersangka. Beberapa poin yang disepakati diantaranya adalah pelaku tidak mengulangi perbuatannya, mengembalikan kerugian korban, korban ikhlas dan tidak akan menuntut pelaku di kemudian hari.

Kasus diatas sejalan dengan Isi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, tentang Sitem Peradilan pidana Anak, keadilan restoratif dilaksanakan melalui proses diversi. Menurut Meyrina (2012) Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Maka semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana diharapkan agar dapat bersama-sama dalam mengatasi masalah bertujuan untuk menciptakan suatu kewajiban didalam keputusan kekeluargaan dengan lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat untuk mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak menciptakan balas dendam.

Sebagaimana pembahasan diatas artinya restorative justice dilaksanakan tepat sasaran pada kasus pidana pada anak. Sebagaimana peradilan anak yang tetap mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi anak serta proses penghukuman adalah jalan terakhir dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak anak.

Beberapa kasus dewasa yang mendapatkan restorative justice pada tahun 2021 berdasarkan dasar hukum tertentu sebagai berikut.  Mengutip Kabarpasti.com, penghentian Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mbah Bondol (Mochamad Harianto, 35) dihentikan penuntutannya oleh Kejari Bojonegoro melalui pendekatan Keadilan Restoratif (Restoratif Justice). JPU bersama Kasi Pidana Umum Bojonegoro melakukan proses perdamaian dengan mengundang para pihak yakni Terdakwa, orang tua terdakwa, saksi korban dan istri, Kepala Desa Balenrejo dan pihak Penyidik.

Dari upaya perdamaian yang dilakukan oleh Penuntut Umum Kejari Bojonegoro, maka dihasilkan beberapa kesepakatan, yakni terdakwa menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa dan korban serta keluarga sepakat berdamai dan saling maaf-memaafkan, serta terdakwa memberikan santunan kepada korban sebesar Rp. 3 jt sebagai biaya pengobatan, Kepala Desa Balenrejo bersedia untuk mengawasi, baik terdakwa maupun korban yang sama-sama satu desa agar tidak berkelahi kembali, begitu juga dengan orang tua terdakwa. Restorative Justice yang diterapkan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No 15/2020 tentang penghentian Penuntutan dengan Restoratif Justice dengan syarat-syarat diantaranya ancaman hukuman tidak lebih dari 5 tahun dan kerugian tidak melebihi 2,5 juta dan subjeknya bukan seorang residivis.

Kasus lainnya yang juga mendapatkan restorative justice diberitakan di jawapos.com adalah kasus penjambretan yang dilakukan oleh Wakhid, 63, pelaku asal Baron, Kecamatan Pagu pada korban Wakini, 63, pedagang Pasar Grosir Ngronggo. Pelaku tertangkap basah mengambil tas miliki korban dan hampir dihakimi masa. Sugianto mengaku, terpaksa karena butuh biaya untuk pengobatan istri yang sakit. Upaya restorative justice dilakukan karena pelaku telah meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Selain itu, uang Rp 1,2 yang dijambret masih dalam keadaan utuh. Pelaku juga berjanji untuk tidak mengulangi kesalahanya. Untuk pembinaan, polisi mewajibkan Wakhid absen Senin sampai Kamis di mapolsekta.

Restorative justice tidak dapat menyelesaikan permasalahan dengan jalan perdamaian saja. Unsur-unsur tertentu harus dipenuhi diantaranya adalah adanya keikhlasan korban (memaafkan) kesalahan tersangka pada proses diversi. Selain itu syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya penyesalan dari pelaku untuk meminta maaf pada korban, dan terutama ganti rugi juga harus diberikan sebagai kompensasi dari pelaku pada korban. Hal tersebut diatas dilaksanakan sebagai terwujudnya tujuan dari restorative justice yaitu pemulihan keadaan sebelum terjadi tindak pidana.

Pidana yang dikenakan pada pelaku pidana tidak semata-mata dihilangkan. Tindak pidana menurut Muhaimin (2019) dalam kamus Black’s Law Dictionary  dipahami adanya unsur-unsur atau ciri-ciri yang ada pada pengertian pidana, yaitu sebagai berikut: a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan; b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasan (oleh yang berwenang); c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Penghapusan pidana bukanlah prinsip restorative justice. Beberapa kasus yang tidak memenuhi syarat-syarat restoratif justice maka proses peradilan tetap berlangsung.

Restorative justice tidak menghilangkan kesalahan pidana pada beberapa kasus meskipun korban telah memaafkan dan adanya ganti atas kerugian material. Disebutkan jika hal tersebut adalah unsur pemberat yang telah terhapus dan hanya dapat meringankan hukuman yang diberikan pada tersangka. Dengan kata lain jika pemberat telah diselesaikan maka masa hukuman akan berkurang.

Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa restorative justice menjadi penting karena dengan restorative justice maka kehadiran masyarakat akan dipertimbangkan dan esensi dari tindak pidana akan dilihat dari sisi kemanusiaan. (*)

Exit mobile version