AMBON (info-ambon.com)- Penjabat Wali Kota Ambon, Bodewin Wattimena menegaskan, pembayaran lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang berlokasi di kawasan Dusun Toisapu, Kecamatan Leitimur Selatan (Leitisel), Ambon, karena belum memiliki dasar hukum.
“Pemerintah kota (Pemkot) Ambon dalam mengeluarkan uang untuk pembayaran lahan TPA sampah Toisapu harus punya dasar hukum, minimal ada bukti kepemilikan yang sah berupa sertifikat tanah,” ungkapnya kepada wartawan di Kantor DPRD Maluku, Rabu (15/2/2023).
Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon, Maluku, mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam mengeluarkan anggaran daerah untuk membayar lahan tempat pembuangan akhir sampah di Dusun Toisapu. “Kalau saya bayar dan tidak berdasarkan bukti kepemilikan lahan yang sah, saya yang masuk penjara. Saya tidak mau ada kesalahan dalam pembayaran, dan sekarang kalau kita sudah melakukan pembayaran tanpa ada sertifikat lahan kemudian datang lagi orang lain mengklaim sebagai pemilik dan ada sertifikatnya tentu akan jadi masalah,” katanya.
Kita sudah minta agar sertifikatnya diberikan namun sampai hari ini tidak ditunjukkan,” katanya. Diakui, Pemkot pernah melakukan tanda kontrak terkait lahan 10 hektar di Toisapu, guna memperluas TPA.
“Memang benar di tahun 2020 silam Pemkot pernah membuat perjanjian kontrak terkait lahan 10 hektar, dan akan di beli oleh Pemkot untuk memperluas lahan TPA, nah pada saat itu di tahun 2020 silam, Pemkot telah membayar 1 hektar lahan, nah setelah membayar, dilakukan tutup karena sesuai dengan perjanjian pasal 2 yang tertuang, dan 1 hektar di bayar oleh pemkot. Selain itu, 9 hektar itu Badan Pertanahan Kota Ambon belum bisa mengeluarkan gambar lahan karena masuk kawasan hutan lindung,” terang dia.
Dengan begitu, Pemkot sudah mengusulkan dalam perubahan RT RW untuk dialih fungsikan dari hutan lindung menjadi lahan yang bisa dimanfaatkan oleh publik, dari situ kalau sudah pengalihan status, setelah itu kita melakukan pembayaran.
“Sampai saat ini, Pemkot masih menggunakan 1 hektar dan sudah bayar serta kompensasi yang diberikan, kami belum masuk ke 9 hektar yang lain, solusinya kita menunggu pengalihan hutan lindung tersebut, sambil menunggu, bukti kepemilikan yang sah, saya tidak mau membayar lalu masuk penjara,” tandas Wattimena. (EVA)