MENURUT penuturan para tetua adat, awalnya datuk-datuk Negeri Halong berasal dari pulau Seram dan pulau Jawa. Para pendatang pulau Jawa berasal dari Tuban (kerajaan Majapahit) di Jawa Timur yang dipimpin oleh seorang Laksamana “ Simalau” artinya singa laut bersama beberapa orang yaitu; Sapadu, Nyai Mahudun, Latu Paranusa didampingi 2 orang mubaliq masing-masing Kiyai Daud dan Kiyai Fulu. Sebelum memasuki Negeri Halong, perahu mereka merapat di pulau Manipa untuk menambah persediaan air minum serta perbekalan lainnya dan tempat tersebut di sebut Tuban dan sampai saat ini disebut Luhu Tuban.
Setelah menambah perlengkapan mereka melanjutkan perjalanan menuju arah Timur yakni pulau Ambon dan mendarat di wilayah Kapahaha tugu selamat datang (taman makam pahlawan) Tantui yang saat ini menjadi bagian pemerintahan Kelurahan Pandan Kasturi. Nama Pandan Kasturi memiliki korelasi dengan kebiasaan salah seorang dari pendatang tersebut yakni Nyai Mahudun yang selalu mengikat rambut (konde) menggunakan daun pandan serta memelihara seekor burung kasturi (nuri) yang didapat saat menyinggahi pulau Manipa.
Dari pantai Pandan Kasturi, rombongan terbagi dua yakni Sapadu, Nyai Mahudun, Latu serta beberapa pengikutnya melanjutkan perjalanan ke arah gunung lalu menempati salah satu wilayah di bagian barat sungai Wairuhu dan tempat itu dinamakan Hative (sekarang Hative Kecil). Rombongan lain dibawah pimpinan Laksamana Simalau, Kiyai Daud dan Kiyai Pulu melanjutkan perjalanan ke arah teluk dalam pulau Ambon lalu perahu mereka karam pada hamparan pantai karang sehingga mereka turun untuk menuju daerah gunung. Dalam perjalanan menuju gunung, Laksamana Simalau dan rombongan bertemu dengan penduduk yang datang dari pulau Seram dan lebih dulu menetap di kawasan tersebut. Tempat di mana perahu Laksamana Simalau karam selanjutnya dinamakan “kora-kora” dan tempat karam perahu tersebut berada di samping dermaga Irian, Lantamal IX Halong.
Para pendatang dari pulau Seram menuju pulau Ambon dan tiba di pantai “Labuhan Muruwaitu” yang mengandung arti “Tempatmu Di Situ”. Dalam perjalanan ke pulau Ambon perahu mereka kandas di sebuah batu di teluk dalam pulau Ambon sehingga tempat itu sampai saat ini dikenal dengan nama “Hatu Campang”. Dari Hatu Campang, mereka menuju ke arah gunung yakni gunung Amakeu di belakang Halong Air Besar (Waimalene) dan menetap di sana. Setelah bertemu dengan rombongan Laksamana Simalu, mereka sepakat untuk membangun pemukiman yang dinamakan “Hena Halaloe’e”, yang artinya “Pikul Naik Ke Atas”. Di Hena Halaloe’e, mereka kemudian sepakat untuk mengangkat Laksamana Simalau sebagai pemimpin.
Kehidupan mereka di Hena Halaloe’e sangat dipengaruhi dengan kultur dan budaya islam yang diajarkan oleh dua orang mubaliq yakni Kyai Daud dan Kyai Pulu, akibat semua penduduk memeluk agama islam. Setelah itu, kedua mubaliq meninggalkan Hena Halaloe’e menuju pulau Seram Timur yakni daerah Tobu Batu Asah, yang sampai saat ini anak negeri tersebut dipimpin oleh keturunan dari kedua mubaliq dengan menggunakan marga (fam) Wailissahalong.
Seiring perjalanan waktu kepemimpinan Laksanama Simalau di Hena Halaloe’e diserahkan kepada anaknya yang bernama “Amadulah Dasima Daseka Suba” dan menjadi matarumah parenta negeri Halong yakni matarumah Tupenalay.
Saat pemerintahan Amadulah Dasima Daseka Suba, Imam di Hatu Halaloe’e dipegang oleh Imam Hadale (moyang dari matarumah Sutrahitu). Pada saat bangsa Protugis menguasai pulau Ambon di tahun 1568, terjadi perubahan yang cukup besar dalam masyarakat di pulau Ambon termasuk di Hena Halaoe’e (Negeri Halong). Penduduk yang sebelumnya memeluk agama Islam beralih menjadi penganut agama Kristen Katolik. Orang pertama yang dibaptis oleh Santo Antonius adalah Alfonso Tupenalay, dan nama Santo Antonius selanjutnya diabadikan sampai saat ini bagi gereja Katolik yang berada di komplek TNI Angkatan Laut Lantamal IX Ambon.
Di masa pemerintahan bangsa Potugis, penduduk Halong dijadikan sebagai pekerja untuk membantu membangun benteng di pantai Honipopu yang selanjutnya diberi nama “Nossa Senhora da Anunciada”, artinya “Kabar Baik Dari Malaikat”. Selama membantu membangun benteng, penduduk Halong tinggal di sekitar benteng yang dikenal dengan nama Halong Mardika. Pada saat bangsa Portugis dikalahkan oleh bangsa Belanda, maka kekuasaan di pulau Ambon langsung dikendalikan oleh bangsa Belanda. Benteng yang di masa bangsa Portugis bernama “Nossa Senhora da Anunciada” diganti nama oleh bangsa Belanda menjadi “Niewu Victoria”, yang artinya “Kemenangan Baru”, namun oleh penduduk asli (pribumi) menyebutnya “Benteng Kota Laha” yang mengandung arti “Kota Di Teluk”. Akibat dipengaruhi oleh penjajah Belanda, penduduk Halong yang tadinya beragama Kristen Katolik harus beralih keyakinan untuk memeluk agama Kristen Protestan hingga saat ini.
Kehidupan masyarakat Negeri Halong sangat akrab dengan Negeri Hitu di jazirah Leihitu, meskipun masyarakat Negeri Hitu pemeluk agama Islam. Dan untuk menjaga hubungan lebih baik, sehingga terjadi perkawinan antara anak laki dari raja IV di Negeri Hitu dengan anak perempuan dari Negeri Halong. Berakhirnya masa pemerintahan raja IV Negeri Hitu diganti dengan raja V yang bernama Mateuna suami dari Inaun (Putri Gunung) dari Negeri Halong. Sebagai penganti arta berupa mas kawin, atas titah raja Hitu diserahkan sebidang tanah (sekarang petuanan Negeri Hunuth/Durian Patah) untuk Negeri Halong. Perkawinan kedua antara raja Hitu V yang bernama Hunilamo yang selanjutnya memangku jabatan sebagai raja VI Hitu dengan anak dari Imam Hadale dari Halong yang bernama Nyai Intan, sebagai mas kawin (penganti arta) diserahkan sebidang tanah di lokasi yang bernama Waiheru yang berbatasan di Air Salah dengan Negeri Passo. Setelah perkawinan kedua, dilakukan perjanjian antara kedua negeri yang dikenal dengan nama Sumpah Dalam Hubungan Pela yang disebut “Pela Manuwei”, artinya “Pela Hubungan Perkawinan” untuk tidak lagi dilakukan perkawinan ketiga dan ini terpelihara sampai saat ini.
Sebagai negeri adat, Negeri Halong masih memegang teguh struktur adat istiadat dan budaya (matarumah) yang dibangun sejak para leluhur. Ada tiga “Soa” besar yang selama ini diakui dan tetap menjadi bagian dari setiap matarumah (marga) di Negeri Halong, yakni; (1) Soa Sela merupakan soa parentah dengan matarumah Tupenalay, matarumah Holatila, matarumah Pakaila, matarumah Tupe dan matarumah Hahuri; (2) Soa Muruwaitu dengan matarumah Sutrahitu, matarumah Persulessy, matarumah Lopursia, matarumah Tihulopu; (3) Soa Tanahitu dengan matarumah Latulokar, matarumah Tentua, matarumah Mussa, matarumah Tawaipori serta matarumah Titiwanau. Dari sekian banyak matarumah di atas yang masih ada sampai saat ini di negeri Halong adalah matarumah Tupenalay, matarumah Holatila, matarumah Pakaila, matarumah Sutrahitu, matarumah Tentua, matarumah Mussa dan matarumah Persulessy.
Sebagai tempat musyawarah adat, Negeri Halong awalnya memiliki rumah adat (baileu) yang berada di komplek TNI-AL Lantamal IX Ambon dengan nama “Teon” negeri “Samasuru Amakeu”, sedangkan batu baileu bernama “Hatuhihi Upupati Halaloe’e”, namun semua bukti sejarah di lokasi tersebut telah lenyap akibat pengembangan komplek militer AL.
Sebagai matarumah parentah, matarumah Tupenalay telah memerintah sejak tahun 1575 dengan rajanya yang bernama Alfonso Tupenalay yang sat itu bergelar “Pattih”. Di saat penjajahan bangsa Belanda tahun 1813, warga Halong yang bekerja membantu pembangunan benteng Victoria, kembali dari tempat kediaman sementara di Halong Mardika ke negeri asalnya yakni Negeri Halong. Ketika itu mereka dipimpin oleh Pattih Jozua Matheis Tupenalay dan dua orang kepala Soa yaitu Nicademus Sutrahitu dan Jomodil Latulokar. Dari pengalaman sejarah, ternyata sejak tahun 1692 masa pemerintahan raja Alfonso Tupenalay sampai dengan sekarang raja Stella G. Tupenalay, negeri Halong telah dipimpin oleh 19 orang raja. (*)
Discussion about this post