AMBON (info-ambon.com)– Festival bulu (bambu) di Negeri Tuni Kota Ambon, 26-28 November lalu ternyata mendapat ekspektasi besar dari masyarakat. Hal ini diakui Ketua Panitia Festival Bulu, Piere Ajawaila kepada wartawan di Ambon, Jumat (4/12/2020). Festival Bulu digelar Direktorat Jenderal Bidang Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ajawaila menyampaikan, festival ini bermaksud menemukan kembali budaya bulu tersebut mendokumentasikannya dan kemudian mengkolaborasikannya dalam pertunjukan musik, sastra, teater dan visual. Proses eksplorasi dan penciptaan sebuah karya seni adalah sesuatu yang sakral bagi tiap seniman.
“Saat ditayangkan melalui youtube dan media sosial lainnya selama 1 minggu sudah sekitar 5.000 viewers yang saksikan dan ini diluar ekspektasi kita, karena kontenya sangat kultural, mengingat sebagian warga kota Ambon yang tidak terlalu menyukai tetapi pada hari ke-3, dan ini sangat baik sehingga kedepan Kota Ambon membuat dan ternyata ada orang yang masih tertarik,” katanya kepada wartawan di Ambon, Jumat (4/12/2020).
Diakui, banyak seniman muda, di Ambon kemudian belum mengekplorasi itu, dan puas pada titik memainkan karya orang lain. Seniman perlu diberi ruang untuk mengeksplorasi dirinya, dan kemudian bertemu dengan seniman lain, dan berkolaborasi sehingga saling belajar, tentang tahapan kreasi masing-masing dalam rangka memperkaya dirinya.
Dalam Konsep Kegiatan, festival Bulu pada puncaknya dilaksankan selama 3 hari, yaitu 26, 27, dan 28 November 2020, dilaksanakan pertunjukan daring kolaborasi selama kurang lebih 1 jam oleh kelompok seniman yang berbeda.
“Festival dilaksanakan di Amphiteater Tuni, yang terletak di dusun Tuni, Kota Ambon. Sebuah Amphiteater berbahan bulu, di daerah yang sampai sekarang masih melestarikan budaya musik suling bambu, dengan mengajak 50 seniman dan kelompok seniman/sanggar musik, sastra, tari, teater dan visual di Maluku, yang diharapkan kemudian akan berkolaborasi mempersiapkan 3 pertunjukan berbeda untuk Musik, Sastra / Teater dan Rupa. Kelompok seniman tersebut antara lain, Molucca bamboowind Orchestra, Bengkel Sastra Batu Karang, Seni Embun, Hahakae, Kanvas Alifuru dan seniman lainnya, ” jelas Ajawaila
Selain itu, lanjutnya Ajawaila, pendokumentasian budaya pemanfaatan bambu dari sumbernya di pulau Seram, Saparua dan Buru ke dalam bentuk video. Video yang ditayangkan secara daring juga menjadi bahan inspirasi dan interpretasi budaya bambu kepada semua kelompok seniman yang terlibat.
“Setiap kelompok seniman kemudian diberikan waktu selama 1 bulan untuk kemudian mempersiapkan sebuah pertunjukan baru, kolaborasi antara seni musik, sastra, teater dan rupa dengan tema budaya bambu, yang kemudian akan ditampilkan tiap harinya selama festival,” lanjutnya.
Dokumentasikan juga proses pemanfaatan bambu, bersama dengan pegiat budaya yang masih menerapkan budaya pemanfaatan bambu tersebut seperti Rence Alfons dengan pembuatan suling bambunya, Mama-mama dari Dusun Tuni yang membuat kuliner berbahan bambu dan Branckly Picanussa yang membuat inovasi alat musik bambu.
“Kegiatan dilakukan secara bertahap yakni dokumentasi dan eksplorasi tahapan ini terbagi dalam beberapa bagian diantaranya, dokumentasi budaya bambu. Tahap dilaksanakan dengan mengirimkan tim videografer untuk mendokumentasikan budaya bambu yang sudah jarang dilaksanakan pada pulau Saparua, Seram dan Buru dalam bentuk Video, ” tutup dia.(EVA)