JAKARTA (info-ambon.com)- Komnas Perempuan RI mengapresiasi langkah Presiden terkait dukungan untuk segera membahas dan mengesehakan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Olivia Latuconsina dari Komnas Perempuan RI menyebutkan, hal ini menjadi penting karena negara kita sudah dalam darurat kekerasan seksual.
Menurutnya, ini dibuktikan dengan lonjakan kasus kekerasan seksual maupun keragaman dari kekerasan seksual itu sendiri.
“Kita temui kekerasan seksual tidak saja terjadi di tempat umum tetapi juga di dalam lingkup keluarga, bahkan di lembaga-lembaga pendidikan yang semestinya jadi ruang aman bagi tiap individu,” ujarnya dalam video tanggapannya terhadap dukungan Presiden bagi pembahasan RUU TPKS, Senin, (10/1/2022).
Disisi lain daya tanggap terhadap kekerasan sesksual masih terbatasi oleh aspek minimnya hukum, aspek budaya bahkan aspek layanan yang selama ini berkonsentrasi di Pulau Jawa.
Komnas Perempuan berharap pernyataan Presiden ini dapat mendorong partai-partai politik yang selama ini menolak dan tidak menyetujui RUU TPKS untuk segera bersama-sama bersatu membahas dan mengesahkan RUU TPKS ini.
“Karena RUU ini adalah untuk kepentingan korban, pemenuhan hak konstitusi warga negara yang meliputi, hak keadilan, hak kebenaran maupun hak pemulihan, dari setiap korban kekerasan seksual, kami berharap DPR-RI maupun pemerintah masih memberikan peluang partisipasi publik agar bisa memberikan saran dan masukkan terhadap RUU ini yang betul-betul berperspektif kepada korban kekerasan seksual,” tandasnya.
Sementara itu Rena Herdiyani, Kekek AD Harijanti, Lusi Peilouw, Mike Verawati dari Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Penghapusan Kekerasan Seksual , sebutkan, urgensi percepatan pengesahan RUU TPKSD ini untuk pelindungan korban, bukan untuk kepentingan transaksi politik.
Dalam siaran persnya beberapa waktu lalu, jaringan tersebut menyatakan, mendukung langkah Pemerintah lewat arahan Presiden Jokowi, dan mendorong untuk tetap melakukan fungsi monitoring terhadap proses pembahasan RUU TPKS baik di parlemen maupun pemerintah.
Pihaknya juga mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk meneruskan proses percepatan penyusunan RUU TPKS yang berpedoman pada 6 elemen kunci yang penting bagi korban, dan memastikan RUU TPKS ketika disahkan dapat diimplementasikan dengan efektif.
Mereka juga mendesak kembali kepada DPR-RI untuk tetap melakukan pembahasan RUU TPKS dalam Rapat Paripurna Sidang Pertama tahun 2022 pada tanggal 13 Januari 2022 seperti yang dijanjikan oleh pimpinan DPR RI.
Serta diminta DPR memastikan proses pembahasan RUU TPKS di PANSUS Baleg DPR RI dengan target 6 bulan bisa disahkan, mengingat urgensi aturan ini. Pembahasan RUU TPKS atas dasar kepentingan sebesar-besarnya untuk perlindungan warga negara, dan pemenuhan rasa keadilan terhadap korban kekerasan seksual sebagai bagian dari tanggungjawab dan peran sebagai wakil rakyat. Tidak memposisikan proses RUU TPKS sebagai kepentingan politik transaksional.
Menurut mereka, DPR-RI dan pemerintah mengundang dan melibatkan semua elemen masyarakat dalam proses pembahasan, pengesahan sampai pelaksanaan RUU TPKS.
Mereka juga mengajak semua jaringan elemen masyarakat yang selama ini telah melakukan advokasi dan mengawal advokasi RUU TPKS untuk tetap bersama-sama memperjuangkan hadirnya kebijakan perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual, tidak hanya pada proses pembahasan RUU, pengesahan, dan juga nanti pada tahap implementasinya.
Sementara itu, Ketua DPD Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (FPPI) Provinsi Maluku Vonny Litamahuputty mempertanyakan, enam tahun RUU TPKS di DPR dan baru pada 13 Januari 2022 akan menjadi RUU inisiatif DPR. Ada apa sebenarnya?
Menurutnya, kawan-kawan legislatif khususnya perempuan sudah bersuara, mungkin karena jumlahnya masih sedikit jadi kalah dengan kelompok-kelompok yang memperlambat proses RUU TPKS ini.
Diharapkan, keterwakikan perempuan di DPR-RI pada 2024 lebih ditingkatkan lagi jumlahnya, bila perlu lebih dari 30 persen, mengapa karena perspektif dalam mendorong kebijakan yang pro perempuan belum berhasil di parlemen.
Dengan semakin banyak perempuan di penyelenggara pemilu, dapat mendorong peningkatan partisipasi perempuan di institusi politik karena suara perempuan dapat dikawal.
“Karena itu penting perekrutan perempuan di penyelenggara Pemilu baik Bawaslu maupun KPU. Mereka di dalam diharapkan punya komitmen kuat mengawal dan melindungi hak-hak kelompok rentan, yakni perempuan, anak- anak, dan kelompok marginal,” ujarnya.
Koordinasi dan konsultasi dengan DPR seperti apa hingga RUU TPKS menggantung dan nyangkut terus. Pemerintah sendiri khususnya Kementrian PPPA diharapkan bekerja cepat merespon perintah Presiden.
FPPI mengingatkan arahan Presiden yaitu penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak, dimana salah satu bentuk kekerasan tersebut mengakibatkan penderitaan yang sangat berat terhadap perempuan dan anak, adalah kekerasan seksual.
Ditegaskan, ini kunci yang akan terus kami suarakan. Negara harus ada untuk korban pelecehan seksual terhadap perempuan dan anak. Fokus kepentingan korban agar rancangan berupa naskah yang akan dihasilkan dapat terhindar dari kepentingan politik, kompromi politik yang justru menyudutkan korban pelecehan seksual. (PJ)