AMBON (info-ambon.com)- Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Maluku menolak keberadaan aktivitas pertambangan oleh PT Batu Licin Aspal di Pulau Kei Besar, Kabupaten Maluku Tenggara. Penolakan ini disampaikan menyusul kunjungan langsung ke lokasi tambang di Ohoi Nerong dan temuan bahwa perusahaan tersebut belum mengantongi dokumen perizinan wajib seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Anggota Komisi II, Suleman Letsoin, menegaskan, kegiatan perusahaan bersifat ilegal dan berpotensi merusak lingkungan serta mengancam masa depan masyarakat lokal. “Kami menolak keberadaan PT Batu Licin karena mereka tidak memiliki AMDAL dan IUP,” kata Letsoin dalam rapat Komisi II di Gedung DPRD Maluku, Karang Panjang, Ambon, Kamis, (12/6/2025).
Menurut Letsoin, saat inspeksi lapangan, pihak perusahaan mengakui belum memiliki dokumen resmi. Mereka hanya menunjukkan kontrak kerja sama selama 15 tahun dengan masyarakat lokal, namun kontrak tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum.
Komisi II juga menyoroti kurangnya transparansi tujuan distribusi material tambang. Pihak perusahaan menyatakan batu yang ditambang digunakan untuk mendukung program food estate di Papua Selatan. Namun, DPRD menyebut klaim itu tidak disertai bukti yang dapat diverifikasi. “Semua masih asumsi,” ujar Letsoin.
Ia menambahkan, eksploitasi tanpa kajian ilmiah dapat merusak ekosistem, seraya menyinggung kerusakan ekologis di negara kecil seperti Nauru akibat tambang tak terkendali. Letsoin mendorong adanya kajian akademis menyeluruh sebelum aktivitas dilanjutkan, termasuk pelibatan ilmuwan dan ahli lingkungan.
“Apakah batuan itu hanya batu biasa atau mengandung mineral penting lain, kita tidak tahu. Karena itu, harus ada kajian objektif dan komprehensif,” katanya.
Komisi II DPRD Maluku berencana menggelar pertemuan lanjutan dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Maluku untuk mendalami legalitas dan dampak aktivitas tambang tersebut. DPRD juga akan melaporkan hasil pengawasan ini ke Komisi VII DPR RI.
“Kei Besar terlalu berharga untuk dikorbankan demi investasi jangka pendek. Ini bukan penolakan terhadap investasi, melainkan komitmen terhadap perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat,” tutur Letsoin. (EVA)
Discussion about this post