MAKASSAR (info-ambon.com)-Dari sehelai benang kapas yang direndam selama dua hari dua malam, lalu difermentasi dengan bumbu dapur seperti cabai, lengkuas, kemiri, dan kunyit selama 15 hari, lahirlah karya agung bernama Tenun Ikat Sekomandi. Kain khas warisan leluhur Sulawesi Barat ini kini menjadi ikon UMKM Sulawesi Selatan yang mendunia berkat tangan dingin Lindayati, pendiri Fenisa 05.
Berlokasi di Jl. Telegraph III Blok C3 No. 55, Telkomas, Kelurahan Berua, Kecamatan Biringkanaya, Makassar, usaha ini telah berkiprah sejak tahun 2007. Berawal dari proses tenun turun-temurun dalam keluarga, Fenisa 05 berkembang menjadi sentra tenun yang mengangkat nilai budaya sekaligus ekonomi masyarakat lokal.
“Kami proses dari benang mentah sampai jadi kain bisa tiga bulan. Semuanya dikerjakan secara manual, tidak pakai mesin. Bahkan proses fermentasinya masih menggunakan bumbu dapur tradisional,” ungkap Lindayati kepada wartawan saat melakukan studi UMKM binaan Bank Indonesia Provinsi Maluku, Kamis (9/10/2025).
Tenun Ikat Sekomandi bukan hanya indah secara visual, namun juga sarat makna. Kata Seko berarti persahabatan dan kekerabatan, sedangkan Mandi bermakna kekuatan dan ketegasan. Filosofi itu tercermin dari kerumitan proses pembuatan, serta cerita di balik setiap motif yang dibuat secara khas.
Fenisa 05 rutin mengikuti berbagai pameran berskala nasional hingga internasional, termasuk ajang Inacraft dan KKI (Karya Kreatif Indonesia) yang didukung penuh oleh Bank Indonesia. Kain produksinya bahkan pernah dibawa hingga ke Dubai dalam pameran internasional tahun 2022.
“BI sangat mendukung kami, mulai dari pelatihan, promosi, sampai mencarikan pembeli. Waktu pameran di Dubai, saya tidak ikut, tapi produk saya dibawa oleh BI pusat,” ujarnya.
Fenisa 05 menjadi binaan resmi Bank Indonesia sejak 2019, setelah sebelumnya diperkenalkan melalui Dekranasda Sulawesi Selatan oleh Ibu Gubernur saat itu, Nurdin Abdullah. Kolaborasi dengan desainer lokal maupun nasional juga membuat produk tenun ini semakin bernilai tinggi.
“Kain tenun kami pernah dijadikan jaket dan gamis oleh para desainer. Harganya bisa mencapai Rp1,5 juta hingga Rp3,5 juta tergantung tingkat kesulitan dan ukuran,” jelasnya.
Proses pembuatan tenun dikerjakan oleh keluarga Lindayati, termasuk sang ibu, Oma Lince Wellem Bare yang kini berusia 75 tahun dan masih aktif menenun. Dalam satu periode produksi selama tiga bulan, Fenisa 05 hanya mampu menghasilkan dua kain tenun karena tingkat kerumitan yang tinggi.
Selain menjual melalui pameran dan event resmi, Fenisa 05 juga memanfaatkan media sosial seperti Instagram dan WhatsApp untuk menjangkau konsumen, yang sebagian besar berasal dari Bali dan daerah lainnya.
“Yang membuat kami berbeda adalah teknik dan proses yang tidak bisa ditiru oleh tenun lain. Kami tetap mempertahankan cara tradisional, dan itu yang membuat produk kami eksklusif,” tutur Lindayati.
Fenisa 05 juga menjadi tempat belajar dan studi banding bagi mahasiswa dari 12 negara yang tertarik dengan proses pembuatan tenun tradisional. Setiap motif memiliki cerita, dan itu menjadi daya tarik tersendiri bagi para kolektor.
Tenun Ikat Sekomandi tak hanya menjadi simbol kebanggaan budaya Sulawesi Barat, tapi juga sumber inspirasi ekonomi kreatif lokal. Dengan sentuhan inovasi dan dukungan berbagai pihak, terutama Bank Indonesia, Fenisa 05 membuktikan bahwa warisan leluhur bisa bertransformasi menjadi produk unggulan berkelas dunia.
“Dulu saya pikir tenun itu hanya pekerjaan ibu-ibu, rumah berantakan, kerja rempong. Tapi ternyata, dengan kerja keras dan komitmen menjaga tradisi, kami bisa sampai di titik ini,” tutup Lindayati. (EVA)
Discussion about this post